Jakarta – Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) menolak pemberlakuan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) dengan Nomor 15/3/DPM yang mengatur pembelian valuta asing oleh pedagang valuta asing atau money changer kepada bank.

Aturan itu dinilai berpotensi mematikan bisnis money changer yang menjadi anggota APVA.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Valuta Asing Indonesia Muhamad Idrus, menilai secara implisit SEBI tersebut menggambarkan bahwa BI menganggap seluruh money changer sebagai pelaku utama spekulasi di pasar valas sekaligus menjadi penyebab tidak stabilnya nilai tukar rupiah.

“APVA Indonesia dengan tegas menolak anggapan ini. Anggota APVA adalah para pedagang valuta asing berizin yang berjumlah lebih dari 900 dan tersebar di seluruh Indonesia. Mereka itu bukan spekulan dan tidak mendukung aktivitas spekulasi terhadap rupiah,” tegas di di Jakarta, Selasa (30/4).

Bahkan APVA Indonesia, tegas Idrus, justru mencanangkan gerakan cinta rupiah dan mengapresiasi diterapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terutama Pasal 21 Ayat 1 soal kewajiban penggunaan rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Seperti diketahui, pada 28 Februari 2013 lalu BI menerbitkan Surat Edaran dengan Nomor 15/3/DPM perihal Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/42/DPD perihal Pembelian Valuta Asing terhadap Rupiah kepada Bank.

Surat Edaran ini ditujukan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam transaksi pembelian valuta asing terhadap rupiah kepada bank, khususnya pembelian valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan oleh pedagang valuta asing.

“Salah satu hal yang diatur ulang oleh BI melalui SE itu adalah permintaan valuta asing kepada bank oleh PVA dengan nilai nominal di atas US$100 ribu per bulan hanya dapat dipenuhi oleh bank apabila PVA menyertakan dokumen underlying transaksi dari nasabah terkait permintaan tersebut,” jelasnya.

Aturan baru ini, menurutnya sama dengan menyerahkan bisnis perdagangan valas yang selama ini dikelola oleh para money changer kepada perbankan.

Untuk itu, Badan Pengurus Pusat (BPP) APVA Indonesia telah mengajukan permohonan audiensi kepada BI yang rencananya melibatkan beberapa perwakilan Badan Pengurus Daerah (BPD) APVA. Namun sayangnya, kata Idrus, permohonan audiensi ini tidak mendapatkan tanggapan positif dari BI.

Lebih lanjut, Idrus menilai SEBI itu terlalu berlebihan mengingat potensi spekulasi sebenarnya tidak dimiliki anggota-anggota APVA. Maklum, nilai transaksi valuta asing yang dilakukan oleh anggota APVA belum mencapai porsi yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah. Menurut data BI, volume perdagangan valuta asing yang dibukukan oleh seluruh PVA di Indonesia pada 2011 mencapai US$ 17,5 miliar atau sekitar Rp 170 triliun.

“Angka tersebut jauh lebih kecil dibanding perkiraan volume transaksi valas di Indonesia yang menurut perkiraan Triennial Central Bank Survey 2010 mencapai Rp 30 triliun per hari. Sulit membayangkan porsi transaksi PVA yang kecil tersebut dapat menyebabkan goyahnya nilai tukar rupiah secara signifikan,” ujarnya.

APVA mengharapkan BI dapat membuat peraturan yang mendorong penguatan sinergi antara bank dan PVA, dan bukan justru sebaliknya. “Artinya banyak potensi sinergi yang dapat dijalin antara PVA dan perbankan. Potensi ini yang seharusnya lebih dikembangkan, bukan malah dimatikan,” ungkap Idrus.